Serang, Banten – Kasus kontaminasi radioaktif pada produk udang beku asal Indonesia mengejutkan publik dan memantik gelombang pertanyaan: sejauh mana keamanan pangan kita, dan bagaimana sistem pengawasannya? Temuan terbaru dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) memperlihatkan jejak Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang — meski belum dapat dipastikan apakah sumbernya berasal dari pabrik udang itu sendiri.
Dugaan adanya paparan zat radioaktif pada udang beku Indonesia muncul setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada 19 Agustus 2025 mengumumkan adanya jejak Cs-137 dalam sampel udang beku yang dikirim ke Amerika Serikat, dengan indikasi produk diambil dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS).
Temuan Laboratorium & Respon Awal
- Dalam pengujian laboratorium FDA, kadar Cs-137 yang terdeteksi mencapai 68,48 Bq/kg ± 8,25 Bq/kg. Nilai ini jauh di bawah batas bahaya yang ditetapkan yaitu 1.200 Bq/kg.
- Meski demikian, kehadiran Cs-137, walaupun di level rendah, tetap mendapat perhatian serius karena sifat zat radioaktif yang dapat menyebabkan efek jangka panjang bila terjadi paparan terus menerus.
- BAPETEN melakukan pemantauan langsung di kawasan pabrik dan di lokasi pengumpulan barang bekas di sekitar kawasan industri modern Cikande. Di pabrik sendiri, mereka tidak menemukan indikasi keberadaan Cs-137. Sebaliknya, daerah lapak rongsokan besi bekas sekitar pabrik menunjukkan adanya kontaminasi.
- Material yang dicurigai terkontaminasi kemudian diamankan, ditutup dengan terpal, disegel, dan pengawasan kepolisian dipasang agar warga tidak mengakses area.
- Hasil pengukuran menunjukkan intensitas radiasi di lokasi pencemaran mencapai 150 mikroSievert per jam — jika seseorang berdiri satu meter dari sumber selama satu jam, tubuhnya akan menerima paparan setara itu.
Langkah Pemerintah & Keputusan Terkait
Pemerintah dan sejumlah lembaga segera bergerak merespons temuan tersebut:
- Menteri Lingkungan Hidup / Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, melakukan peninjauan langsung ke kantor BMS dan memerintahkan penghentian sementara kegiatan bila memungkinkan dikosongkan.
- Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyampaikan bahwa penolakan ekspor udang Indonesia ke AS terjadi karena indikasi pencemaran radioaktif. Dia menjelaskan bahwa pengujian pada dua tambak di Lampung dan Pandeglang, yang diduga sebagai pemasok udang BMS, menunjukkan tidak adanya paparan radioaktif. Ia menambahkan bahwa di dalam pabrik BMS, titik temuan Cs-137 ditemukan di cerobong, yang mengindikasikan kemungkinan asal kontaminasi dari udara luar.
- BAPETEN memperluas cakupan monitoring radiasi hingga radius 2 km dari lokasi pencemaran dan menemukan dua lokasi tambahan dengan laju dosis radiasi tinggi.
- Pengelola lapak pengumpulan besi bekas tidak dapat memberikan penjelasan memadai asal-usul material yang terkontaminasi Cs-137. Ada dugaan bahwa barang-barang tersebut mungkin berpindah-pindah melalui masyarakat, karena wujudnya mungkin tampak seperti benda biasa.
Apa Itu Cesium-137 & Potensi Bahayanya
Untuk memahami betapa seriusnya isu ini, penting kita tahu karakteristik Cs-137:
- Cs-137 adalah zat radioaktif buatan (tidak alami), sering muncul sebagai produk sisa dalam reaktor nuklir.
- Radiasi yang dihasilkan — terutama radiasi pengion (beta dan gamma) — berpotensi merusak struktur sel hidup ketika terjadi paparan.
- Dalam tubuh manusia, Cs-137 cenderung menembus jaringan lunak — seperti otot — dan bisa terakumulasi, sehingga menjadi sumber paparan internal jika masuk ke tubuh lewat makanan, air, atau udara.
- Efek biologis yang muncul dapat bersifat deterministik (terjadi jika dosis melewati ambang batas, misalnya luka radiasi, eritema) dan stokastik (bersifat acak, misalnya risiko kanker, tanpa ambang batas jelas).
- Cs-137 mudah larut dalam air dan dapat terbawa ke lingkungan— sungai, laut, tanah—serta menyerap pada partikel tanah. Jika memasuki ekosistem, zat ini bisa menular ke rantai makanan.
Regulasi terkait zat radioaktif dalam pangan di Indonesia meliputi Peraturan Kepala BAPETEN No. 4/2013 tentang keselamatan radiasi dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1031/Menkes/PER/V/2011 yang mengatur ambang batas cemaran radioaktif pada pangan.
Tantangan & Ketidakpastian yang Masih Membayangi
Meski langkah respons telah dilakukan, banyak pertanyaan penting yang masih belum terjawab:
- Sumber utama kontaminasi: Apakah berasal dari limbah industri, kebocoran alat nuklir, bahan impor, atau faktor lain? BAPETEN belum bisa memastikan.
- Jalur masuk ke produk pangan: Bagaimana Cs-137 bisa menembus proses produksi udang? Apakah dari udara, air, atau kontaminasi silang di fasilitas? Trenggono menyinggung kemungkinan udara luar melalui cerobong.
- Skala sebaran: Seberapa luas area pencemaran? Apakah sudah menjangkau lingkungan lebih luas, tambak-tambak, atau daerah konsumen?
- Risiko kesehatan masyarakat: Meski kadar saat ini relatif rendah, efek paparan jangka panjang masih perlu dievaluasi dan dipantau.
- Kepercayaan konsumen dan pasar ekspor: Kasus ini bisa merusak reputasi industri perikanan Indonesia di mata global, memperketat kontrol kualitas dan sertifikasi ekspor.
Dampak Sosial, Ekonomi & Lingkungan
- Bagi konsumen domestik dan internasional, berita ini memunculkan kekhawatiran akan keamanan pangan laut Indonesia.
- Di sektor ekspor, potensi penurunan kepercayaan pasar (misalnya AS) bisa berdampak serius pada pendapatan petambak udang dan perusahaan ekspor.
- Di lingkungan, jika Cs-137 telah menyebar ke air dan tanah, efek jangka panjang pada kesehatan ekosistem dan rantai makanan lokal bisa muncul.
- Masyarakat sekitar kawasan industri dan lapak besi bekas menjadi pihak yang paling rentan, terutama bila terjadi kontak langsung atau tidak sadar dekat area kontaminasi.
Langkah Ke Depan & Rekomendasi
Untuk mengatasi dampak dan mencegah kejadian serupa, beberapa langkah strategis perlu diambil:
- Penyelidikan teknis menyeluruh: Libatkan lembaga nuklir, lembaga lingkungan, dan lembaga pangan untuk melacak sumber kontaminasi secara ilmiah dan transparan.
- Monitoring rutin & pengukuran independen: Perlu ada lembaga independen (akademik / lembaga penelitian) yang melakukan pengambilan sampel makanan laut, air, dan lingkungan di kawasan industri dan daerah pesisir.
- Perbaikan sistem pengawasan pangan & ekspor: Kaji ulang proses sertifikasi, audit fasilitas pengolahan udang, dan protokol pengujian radioaktif agar lebih ketat.
- Edukasi publik dan transparansi informasi: Pemerintah dan lembaga terkait perlu memberi informasi jelas kepada masyarakat tentang risiko dan langkah pencegahan, agar tidak timbul kepanikan berlebihan.
- Penanganan langsung limbah terkontaminasi: Barang dan material yang sudah diamankan harus ditangani dengan standar keamanan radioaktif, pemindahan ke fasilitas penyimpanan aman, dan tindakan pembersihan (decontamination).
- Perbaikan regulasi bila perlu: Evaluasi kembali batas aman radioaktif untuk pangan laut, mekanisme pengawasan lintas lembaga, serta sanksi tegas bagi pelanggaran.
Penutup & Catatan Akhir
Kasus kontaminasi Cs-137 dalam udang beku ini membuka tabir tantangan besar: bahwa keamanan pangan laut Indonesia tak bisa dianggap remeh. Meski kadar yang terdeteksi relatif rendah, sifat radioaktif yang bisa berdampak jangka panjang membuat isu ini menjadi perhatian publik dan profesional.
Keberhasilan penanganan kasus ini akan sangat bergantung pada kerja sama lintas lembaga (BAPETEN, KKP, Kementerian Lingkungan, lembaga riset), transparansi proses penyelidikan, serta kepekaan industri dan regulasi terhadap potensi risiko baru. Untuk konsumen, ini juga menjadi pengingat agar selalu mencari informasi dari sumber yang kredibel dan tetap mendorong pengawasan terhadap produk pangan, terutama yang berpotensi sensitif.